Sebelum tahun 1994, sebagian besar pegawai negeri sipil atau karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta para pekerja pabrik milik pemerintah di seluruh Indonesia
pada hari Sabtu masuk dan bekerja seperti biasa walaupun hanya setengah
hari. Belum ada peraturan atau usulan dari pemerintah bahwa hari Sabtu
kantor-kantor pemerintah ditutup seperti yang terjadi sekarang ini,
khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan
lain-lain. Dengan dinyatakan Libur pada hari Sabtu, oleh sebagian besar
masyarakat disambut dengan antusias, khususnya bagi mereka yang bekerja
sebagai pegawai negeri sipil.
Di awal tahun 1990-an, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera (PAN), TB
Silalahi, pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto (pada waktu itu)
agar hari Sabtu dijadikan hari libur nasional, khususnya bagi pegawai
negeri di seluruh Indonesia. Alasan yang dikemukan oleh menteri PAN
antara lain untuk efisiensi, baik dalam penggunaan listrik, telepon dan
sarana-sarana penunjang lain milik pemerintah, sehingga biaya
penggunakan sarana tersebut berkurang. Usulan tersebut oleh presiden
belum mendapatkan respon yang menggembirakan dengan alasan usulan
tersebut masih dipertimbangkan, utamanya bagaimana reaksi perusahaan
atau industri terhadap kemungkinan hari Sabtu diliburkan tersebut.
Mendengar bahwa menteri TB Silalahi mengusulkan kepada presiden supaya
hari Sabtu diliburkan, Dr. Haryono Suyono, ketika itu menjabat sebagai
Menteri Negara Kependudukan/ Kepala BKKBN, mencoba memperkuat usulan
yang disampaikan menteri PAN tersebut kepada Presiden, agar Sabtu dijadikan hari libur nasional. Dr. Haryono Suyono mengemukakan alasan
tambahan bahwa alasan yang penting bukan hanya efisiensi atau
penghematan, tetapi hari libur itu akan memberi kesempatan kepada
pegawai/karyawan yang tinggal di kota, pada hari Sabtu dan Minggu,
berkunjung kepada saudaranya yang berada di desa dan menikmati suasana
pasar TUGU atau pasar Sabtu dan Minggu di pedesaan.
Disamping itu, BKKBN yang waktu itu sedang giat-giatnya membangun
keluarga sejahtera di seluruh pelosok pedesaan, memperluas alasan adanya
program yang sangat popular dengan nama Bangga Suka Desa. Program ini
dimaksudkan untuk membangun masyarakat pedesaan dengan menciptakan
suasana kota di desa untuk memajukan kehidupan sosial budaya yang ada di
desa tersebut. Bagi penduduk desa dihimbau agar membuka dan
mengembangkan warung-warung kecil di pasar TUGU dan menyiapkan makanan
khas desa, agar saudaranya yang datang dari kota bisa menikmati makanan
khas tersebut sambil berekreasi di pedesaan. Dengan demikian bisa
tercipta dan merubah suasana desa yang sepi dan sunyi menjadi suasana
yang menyenangkan seolah-olah berubah menjadi suasana kota di desa.
Unsur adanya pemerataan pembangunan dengan memberikan rezeki kepada
rakyat di desa oleh orang kota, akan tercipta kepedulian sosial yang
membanggakan dan membagi kesejahteraan.
Usulan Menpan yang diperkuat dengan tambahan dari Meneg
Kependudukan/Kepala BKKBN tersebut mendapat respon positif dari
presiden, sehingga pada kesempatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) I
tanggal 29 Juni 1994 di Sidoarjo, Jawa Timur, presiden Soeharto atas
nama pemerintah mengumumkan, bahwa hari Sabtu ditetapkan sebagai hari
libur nasional dan kepada Menteri TB Silalahi dan Dr. Haryono Suyono
ditugasi untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas di seluruh tanah
air.
Setelah diumumkan bahwa hari Sabtu adalah hari libur, ternyata tidak
seluruh rakyat Indonesia menerima begitu saja, banyak sekelompok
orang/organisasi yang sengaja menolak dan memprotes dengan berbagai
macam alasan. Penetapan hari Sabtu libur oleh sebagian orang dianggap
tidak sesuai dengan budaya Indonesia, mereka menganggap kebijakan itu
meniru bangsa lain terutama bangsa Eropa dan Amerika, dan masih banyak
alasan-alasan penolakan lainnya. Bahkan ada yang sengaja mencari siapa
dalang dibalik presiden yang mengusulkan libur di hari Sabtu tersebut,
agar diberhentikan dari jabatannya. Presiden Soeharto dengan tegas
mengatakan, pemberian libur di hari Sabtu adalah tanggung jawabnya,
bukan tanggung jawab menteri atau orang yang mengusulkan, sehingga
dengan demikian Presiden melindungi para pembantunya dan mengambil oper
semua tanggung-jawab. Itu merupakan bukti pemimpin yang sejati yang
selalu melindungi bawahannya, ini perlu dijadikan contoh bagi
pemimpin-pemimpin lainnya, dalam arti berani bertanggungjawab untuk
melindungi anak buahnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah saat ini
masih ada pemimpin yang seperti itu, berani melindungi anak buahnya
atau para pembantunya yang dianggap bersalah ?
Mudah-mudahan hari Sabtu libur seperti yang kita nikmati sampai hari
ini, terus membawa manfaat bagi kita semua, dan proses silaturahmi antar
warga kota dan desa terus berlanjut dan lestari. (Penulis adalah Dosen
Pascasarjana Universitas Satyagama, Jakarta)
Terima kasih telah membaca artikel Mengapa Sabtu Jadi hari libur Kantor semoga bermanfaat menambah pengetahuan kita
Terima kasih telah membaca artikel Mengapa Sabtu Jadi hari libur Kantor semoga bermanfaat menambah pengetahuan kita