Alat Peraga Demo Bukan Menghina Pemakai Dalaman -->
Rabu, 9 April 2025
Cari Berita

Advertisement

mail@xmlthemes.com

Alat Peraga Demo Bukan Menghina Pemakai Dalaman

Saturday, May 5, 2018



Headline - Perspektif
Ada banyak cara untuk melakukan protes. Beberapa kalangan menggunakan benda-benda tertentu sebagai wujud protes.  Ada yang menggunakan koin, sandal jepit, kerbau, keranda mayat, dalaman perempuan hingga tikus untuk meneriakkan tuntutan keadilan dimuka umum.

Aliansi Wartawan Sulawesi Barat (AWAS) pun melakukan alat peraga Dalaman Perempuan didepan gedung kantor Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Barat tepat pada tanggal 2 Mei 2018.

Mengarak dalaman perempuan ini bukan sama sekali berniat menghina pemakai dalaman, tetapi itu merupakan simbol bahwa kepala BI perwakilan Sulbar bukan pribadi pemimpin yang bijaksana dan bahkan sama sekali tidak lantang memberikan klarifikasi atas tuntutan massa aksi.

Beberapa wartawan yang tergabung dalam AWAS setelah aksi perdana pun berupaya meminta klarifikasi pada pimpinan BI Sulbar, Dadal Angkoro melalui telpon dan bahkan menyambangi kantornya di jalan Andi Pettarani, Mamuju. Namun, lagi-lagi upaya itu gagal lantaran telponnya dimatikan. Sejatinya, pimpinan BI memberikan klarifikasi terbuka atas ciutannya pada group WhatsApp yang terkesan menghina profesi wartawan yang ada di Sulbar.

Berangkat dari berbagai alur persoalan yang tak kungjung tuntas inilah sehingga pada rangkaian aksi AWAS jilid II, dalaman perempuan dijadikan simbol kepribadian Dadal Angkoro yang tidak satria layaknya seorang kepala rumah tangga yang wajib bertanggungjawab atas segala persoalan yang timbul dilingkungan keluarganya sendiri. Pemimpin yang memiliki kepribadian Malaqbiq tentu lebih hati-hati dalam menyampaikan pendapat, apalagi jika menyinggung profesi lainnya.

Konsep pemimpin Malaqbiq bagi masyarakat Mandar secara umum, sebetulnya abstrak dan mengalami penafsiran yang terus-menerus. Tak ada catatan tersendiri yang menyebut malaqbiq dalam teks-teks kebudayaan Mandar. Konsep siriq lebih dulu muncul, seperti banyak disebutkan dalam lontaraq. Bahkan, konsep siriq dalam tafsiran masyarakat Bugis-Makassar, digunakan pula dalam kebudayaan Mandar.

Bagi masyarakat Mandar, tak mudah kiranya menyematkan “To Malaqbiq” kepada seseorang, terlebih pada pemimpinnya. Sebab, untuk dianggap sebagai To Malaqbiq, orang tersebut mesti diakui “ke-malaqbi-annya” oleh beragam lapisan masyarakat. Identitas Orang Mandar, menyebutkan bahwa dibutuhkan prosedur kultural untuk menjadi to malaqbiq. Olehnya, to malaqbiq itu sendiri adalah sebentuk piagam sosial yang diberikan langsung oleh masyarakat. Namun secara umum, mereka yang dianggap sebagai to malaqbiq merupakan seseorang yang memiliki kelebihan yang tercermin dalam perilaku sehari-harinya. Kelebihan yang dimaksud adalah sesuatu yang sifatnya positif.
“Saya selaku penulis, menyampaikan permohonan maaf kepada kaum perempuan, khususnya kepada ibu saya sendiri karena ikut mengarak dalaman perempuan ke kantor BI Sulbar. Namun ini hanyalah simbol aksi kekecewaan terhadap sosok pemimpin yang tidak satria mempertanggungjawabkan ciutannya sendiri”

Simbol pria yang tidak bertanggungjawab di tanah Mandar lazimnya diberi gelar oleh masyarakat “Tani Tommuane Tongan” (Bukan Pria Sejati.red) sehingga pantas kau disematkan adalah golongan perempuan yang lemah.

Dalam kehidupan sosial di tanah Mandar-Bugis dan Makassar, tentu banyak dijumpai simbol-simbol yang diterapkan oleh masyarakatnya. Misalnya di tanah bugis, pakaian bekas dalaman wanita atau Bra malah diikat pada pohon mangga saat musim bunga tiba. Konon ini dimaksudkan agar bunga mangga ini mampu bertahan hingga musim panen tiba. 

Di tanah Mandar pun demikian banyak simbol budaya yang diyakini oleh masyarakatnya. Contohnya, ketika ada ancaman angin puting beliung maka ada salah satu sosok pemuda melepaskan sarung dan bahkan mencopot seluruh pakaiannya lalu pemuda ini berlari ke bibir pantai sembari mengumandangkan Adzan agar ancaman bahaya itu tidak terjadi di kampungnya. Apakah tindakan pemuda ini melakukan porno aksi serta melakukan penghinaan terhadap agama karena berani mengumandangkan Adzan dalam keadaan telanjang? bagi masyarakat tentu kelakuaan pemuda itu tidak mencibiri karena bermaksud ingin menyelamatkan warga dari ancaman marah bahaya ini.

Akhir penutup lembaran opini ini, saya menyampaikan selamat mempersiapkan diri menghadapi bulan suci Ramadhan, semoga Allah SWT memberikan pengampunan sehingga kita termasuk hamba yang mendapat kemuliaan dibulan penuh berkah itu.

Oleh : A.Acho Ahmad Andi Hamid
Mamuju, 5 Mei 2018.

Loading